ORANG TUA DAN GURU YANG KEHILANGAN PERAN DALAM PRESPEKTIF IMAM ZARNUJI

 


Essai Edy Hermawan, S.Sos. Gr, Guru SMP Nurul Jadid 
 

 


Dulu, ketika saya mendaras di langgar, ada banyak hal tentang materi pengajian di dalam kitab-kitab yang tidak saya mengerti. Salah satu kitab yang pernah saya kaji waktu itu adalah kitab Ta’limul Muta’allim. Saya berulangkali membacanya, tetapi cukup sulit untuk menangkap maksud atau pengertian yang termuat di dalamnya.

Namun, meski demikian ada sedikit hal yang masih tertanam di dalam ingatan saya hingga sekarang ini. Bahwa untuk menjadi hamba yang baik kita harus memiliki ilmu. Tanpa ilmu penghambaan kita tidak akan bermakna apa-apa. Bahkan, ada cerita bahwa ahli ilmu lebih ditakuti oleh setan dibandingkan dengan ahli ibadah sekalipun ahli ilmu tersebut dalam keadaan tidur.

Kitab Ta’limul Muta’allim itu sendiri membahas tentang ilmu bagi orang yang hendak menuntut ilmu agar mereka berhasil mencapai apa yang mereka tuntut. Karena demikian pentingnya ilmu maka memang harus ada sebuah kitab yang menjelaskan tentang ilmu bagi orang yang akan menuntut ilmu, seperti kitab Ta’limul Muta’allim tersebut.

Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa sebelum penuntut ilmu mencari ilmu, mereka harus melakukan beberapa hal di antarnya adalah memilih ilmu apa yang akan dipelajari, memilih siapa orang yang akan dijadikan gurunya, dan yang tidak kalah penting adalah memilih siapa orang yang dijadikan kawan di dalam kehidupannya. Ketiga hal itu harus dilakukan apabila kita ingin mencapai apa yang kita tuju sebagai pencari ilmu.

Di sini, saya tertarik untuk mengulas poin yang ketiga, yaitu memilih siapa yang akan dijadikan kawan oleh mereka yang hendak menuntut ilmu. Poin itu, bagi saya cukup penting untuk dibahas di tengah zaman yang boleh dikata sudah jauh berbeda dengan zaman di mana Imam Zarnuji, pengarang kitab Ta’limul Muta’allim tersebut hidup.

Kenapa memilih kawan dimasukkan dalam daftar pilihan yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu. Imam Zarnuji menjelaskan dengan syairnya bahwa kalau kita ingin mengetahui siapa orang itu maka lihatlah dengan siapa mereka berkawan. Di dalam penjelasan lain, tidak akan ada kecoak yang berkumpul dengan tawon. Artinya, orang yang berkumpul cenderung memiliki karakter yang sama meskipun tidak sama persis.

Penjelasan itu berupa kias atau majas. Imam Zarnuji hendak mengatakan bahwa kawan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Seseorang cenderung mudah ikut serta bersama kawan-kawannya. Barangkali kita pernah mendengar, kalau kita ingin mendapatkan bawu harum maka berkawanlah dengan penjual parfum. Artinya, kawan kita memiliki potensi yang sangat besar untuk memengaruhi diri kita.

Secara sosiologis, kawan dimasukkan ke dalam kategori agen sosialisasi, yaitu agen yang memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang, apakah mereka akan berkepribadian dan berkelakuan positif atau negatif. Kita dapat memahami betapa besar peran kawan di dalam kehidupan kita. Karena begitu besarnya, Imam Zarnuji pun memasukkannya ke dalam salah satu hal penting yang harus dipilih oleh seorang penuntut ilmu apabila mereka ingin berhasil meraih ilmu yang mereka inginkan.

Merenungkan kembali apa yang disampaikan Imam Zarnuji memaksa saya untuk memahami dan memaknainya lebih luas lagi. Saya sampai pada kesimpulan bahwa pada esensinya kawan adalah seseorang yang selalu bersama kita dan memiliki potensi untuk memengaruhi kita. Kata kuncinya adalah kebersamaan dan pengaruh. Itu kesimpulan sederhana yang saya dapatkan setelah merenung dan membuka-buka kembali apa yang sudah pernah saya daras dulu di langgar.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, saya berpikir kembali tentang situasi zaman yang berbeda antara Imam Zarnuji dan zaman saya sekarang ini. Tetapi, kata kunci itu setelah saya dalami tidak akan berubah. Di setiap zaman, kawan dengan pengertian kebersamaan dan pengaruh tetap ada mesikipun dengan bentuk yang berubah.

Di zaman Imam Zarnuji boleh dikata yang disebut kawan yang selalu bersama-sama dan dapat mempengaruhi adalah manusia. Tetapi, di zaman kemajuan dan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini, sesuatu yang selalu ada bersama-sama dan dapat memengaruhi kita adalah teknologi dengan segala kecanggihannya.

Kini, teknologi adalah kawan sedekat-dekatnya kawan, seperti gadget, televisi, radio, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Kita dapat mengatakan bahwa hari ini semua jenis teknologi lebih dekat kepada kita dibandingkan dengan manusia-manusia yang selalu ada di samping kita. Bangun tidur kita dengan gadget, jalan dengan gadget, dan mau tidur pun kita dengan gadget. Tiada waktu tanpa gadget.

Kita semua tentu sudah tahu bagaimana kecanggihan teknologi yang merupakan buah dari peradaban manusia sekarang. Waktu sudah dapat dipercepat, jarak sudah dapat diperpendek, informasi sudah dapat dipermudah, bahkan teknologi mampu menjamah hingga ke ruang-ruang kita yang sangat pribadi.

Kita juga tentu sudah tahu bahwa di dalam teknologi seperti gadget dengan kecanggihannya kita dapat mengakses apa saja mulai dari yang positif dan negatif tanpa harus diketahui orang meski berada di ruang publik. Bahkan, tanpa perlu mengakses, kita sudah disuguhi berbagai informasi dengan macam-macam konten. Saya lebih senang menyebutnya diserbu.

Memang benar, teknologi tetap berbeda dengan manusia. Teknologi tidak bernyawa dan berakal, sementara manusia memiliki akal dan nyawa. Namun, dua kata kunci itu, kebersaman dan pengaruh, ada pada keduanya. Artinya, hari ini teknologi sudah menjadi kawan bagi kita semua. Teknologi berperan sebagai kawan yang selalu setia menemani kita di mana pun kita berada dan ke manapun kita pergi. Ia lebih setia dibandingkan manusia.

Kalau kita mencermati kecanggihan teknologi, kita akan menemukan dampak positif dan negatif yang dikandungnya. Teknologi sudah menjadi kebutuhan primer bagi kita hari ini. Kita tidak mungkin menolaknya kalau kita tidak ingin menjadi orang yang gagap dan terasing dari kemajuan. Dengan demikian, kita dapat memasukkan teknologi sebagai kawan yang harus diperhatikan sebagaimana kata Imam Zarnuji di dalam kitabnya.

Kesamaan peran teknologi sebagai kawan bagi kita, terutama bagi para penuntut ilmu sudah dapat dipastikan dapat menggantikan peran orang tua dan guru sebagai agen sosialisasi utama dan pertama. Ini bisa dilihat dari intensitas kebersamaan anak-anak kita dengan teknologi seperti gadget dan televisi dibandingkan dengan kita sebagai orang tua dan guru. Dengan demikian, tentu sudah bisa dipastikan bahwa teknologi punya ruang lebih besar untuk memengaruhi dan membentuk kepribadian seorang anak.

Padahal, Tuhan sudah menyampaikan dengan jelas bahwa orang tuanyalah yang menjadikan mereka Nasrani atau Yahudi. Artinya, orang tua (temasuk guru) seharusnya punya peran lebih besar untuk mengarahkan dan membentuk kepribadian anak-anaknya. Tetapi, kecanggihan teknologi sudah menggeser peran penting orang tua dan guru. Anak-anak bukan hanya disandera, terkadang malah diserahkan kepada teknologi begitu saja hanya karena kemalasan dan demi kenyamanan orang tua.

Sebagai akibatnya, kita tidak perlu heran apabila melihat seorang anak sudah lebih sibuk dengan gadget dibandingkan dengan membantu orang tuanya. Anak-anak lebih sibuk meneladani idola yang dilihatnya di televisi atau medsos dibandingkan dengan menggugu dan meniru orang tua dan gurunya. Itu adalah dampak laten yang ditimbulkan dari kecanggihan teknologi dan perlu segera kita sadari. Pepatah kuno boleh berkata bahwa buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, tetapi hari ini sudah berbeda. Buah yang jatuh hanyut dibawa arus tak tahu ke mana.

Masih menurut Imam Zarnuji, guru dan orang tua mempunyai peran penting dalam mendorong dan menyukseskan anaknya dalam menuntut ilmu. Tetapi, kalau peran orang tua dan guru tersebut sudah digeser maka sangat kecil harapan kita untuk hal tersebut. Ketika memang sudah jelas demikian kenyataannya, lalu apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua dan guru? Warisan apa yang harus kita wariskan? Pendidikan seperti apa yang harus kita didikkan kepada anak-anak kita?

Saya memilih beberapa usul yang layak untuk dipertimbangkan sekalipun mungkin ini masih sangat normatif. Petama, kita harus meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk anak-anak kita, mecurahkan kasih sayang dan memberikan perhatian serta arahan. Kedua, kita wariskan ilmu pengetahuan. Ketiga, kita didik mereka menjadi kritis dan berakhlakul karimah. Itu yang harus kita lakukan ketika peran orang tua dan guru sudah digantikan oleh kecanggihan teknologi. Wallahu a’lamu. Taqobbalallah minna wa minkum. Anta maksudi wa ridhaka mathlubi. Aamiin!


 

Penulis Artikel :

 

 

 

 

0 Komentar