Cerpen Edy Hermawan, S.Sos. Gr, Guru SMP Nurul Jadid
1/
Kamu tentu
pernah merayu Tuhan. Kamu berdoa kepadanya, menyampaikan betapa menderitanya
dirimu atau mungkin kamu menyampaikan kebutuhanmu. Kamu berharap Tuhan
membebaskanmu dari penderitaan itu. Tuhan mengabulkan, menunda, atau mungkin
menggantinya. Yang jelas, Tuhan tidak pernah takluk pada rayuanmu karena janji
Tuhan lebih dulu dari doamu. Tuhan sudah berjanji akan mengabulkan setiap doa,
tapi sesuai kehendaknya, bukan kehendak kita.
Seperti
halnya perempuan itu, dia harus menerima takdirnya. Karena memang, takdir Tuhan
tak mempan dengan rayuan. Suaminya diambil kembali oleh Sang Maha Pemilik
setelah hampir setahun berbaring di atas ranjang bambu itu.
Panggil
saja perempuan itu Bu Summi. Seorang janda ditinggal mati berkepala empat. Saat
meninggal, suaminya tidak meninggalkan apa-apa, kecuali dua anak perempuan dan
sejengkal tanah dengan gubuk kecil di atasnya.
Bu
Summi terpaksa tidak menjalani idah sebagai istri yang ditinggal mati oleh
suaminya karena alasan ekonomi. Bu Summi harus menanggung kebutuhan hidup dan
biaya pendidikan kedua anak perempuannya. Anak perempuannya yang pertama sudah
kelas tiga SMP, sedangkan yang kedua baru kelas tiga SD.
Namun,
mencari penghasilan bukan sesuatu yang mudah. Bu Summi harus bekerja serabutan.
Kalau ada orang memintanya untuk menyabit rumput, dia terima. Kalau ada orang
yang memintanya untuk membersihkan kotoran ternak sapi, dia juga terima.
Bahkan, dia sambil lalu memulung di waktu senggang. Itu pun belum dapat
memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Tidak
ada orang yang tidak ingin berubah menjadi lebih baik. Status sosialnya,
ekonominya, pendidikannya, dan seterusnya. Namun, rasa bosan dan putus asa
tidak jarang menghinggapi sehinga manusia akan mencoba jalan lain yang dirasa
lebih cepat. Itu juga yang terjadi kepada Bu Summi. Dia mulai merasakan bosan
dan dihinggapi putus asa.
Dua
tahun kemudian, ada seorang laki-laki dari desa sebelah datang melamarnya. Saat
itu harapan perubahan ke arah yang lebih baik tumbuh lagi pada diri Bu Summi.
Laki-laki itu memang bukan orang kaya, tapi setidaknya Bu Summi merasa bebannya
akan berkurang.
“Nak,
bapak kalian sudah dua tahun meninggal. Hingga sekarang keadaan kita tetap
seperti ini. Ibu mau menerima lamaran Pak Sutro itu. Semoga nasib kita bisa
berubah jadi lebih baik,” tutur Bu Summi kepada dua anak perempuannya.
Dua
anak perempuan itu tidak bergeming. Mereka tidak menjawab iya atau tidak. Hanya
diam dan menunduk. Bu Summi tak peduli dengan sikap kedua anak perempuannya.
Tekadnya hari ini adalah membenahi kondisi hidupnya. Padahal, Bu Summi juga
sudah tahu kalau laki-laki itu suka sekali nikah cerai. Tapi, siapa tahu ini
bisa jadi jalan, pikirnya.
Singkat
cerita, Bu Summi dan Pak Sutro menjadi suami istri yang sah. Tapi yang terjadi
tidak sesuai harapan. Satu minggu dari pernikahannya, Pak Sutro belum juga
beranjak untuk mencari nafkah. Padahal, sudah dua hari Bu Summi hanya
menghidangkan nasi jagung, kuah daun kelor, dan sambal petis ikan sebagai
pengganjal perut. Mestinya, Pak Sutro sudah mengerti dengan keadaan itu.
Apalagi, rokok Pak Sutro pun, Bu Summi yang membelikannya.
Bu
Summi menahan diri untuk mempersoalkan itu. Dia berpikir, mungkin karena baru
satu minggu usia pernikahan itu. Namun, satu bulan, dua bulan, bahkan satu
tahun sudah, Pak Sutro tetap tidak bekerja mencari nafkah. Semua kebutuhan
keluarga ditanggung oleh Bu Summi. Setelah menikah lagi, bebannya bukan semakin
berkurang, tapi bertambah.
Herannya,
Bu Summi tetap tidak mempersoalkan itu. Dia tetap membiarkan Pak Sutro
menikmati hasil keringatnya. Kata orang, Bu Summi sudah kena guna-guna. Ada
juga yang bilang kalau Bu Summi takut menghadapi suaminya. Sebab, suaminya
mudah emosi dan melakukan kekerasan.
Tentu
kebutuhan ekonomi semakin bertambah. Bu Summi bukan lagi hanya memenuhi
kebutuhan dirinya dan dua anak perempuannya, namun juga suaminya yang candu
rokok itu.
Yang
menjadi korban adalah dua anak perempuannya. Bu Summi sering uring-uringan.
Semua emosi kekesalan meluap kepada dua anak perempuannya. Kebutuhan
keluarganya yang sudah tidak mungkin lagi dipenuhi dengan keringatnya membuat
Bu Summi berani mengutang kepada tetangga dan rentenir desa. Bahkan, bantuan
pendidikan pemerintah untuk dua anak perempuannya tidak digunakan semestinya,
melainkan digunakan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya.
Kondisinya
semakin tidak karuan. Setiap hari selalu ada percekcokan antara Bu Summi dengan
dua anak perempuannya. Padahal hanya persoalan sepele. Sekarang dua anak
perempuannya pun sudah sering tidak mendapatkan uang saku lagi.
2/
Tidak sedikit
orang yang menjadikan nikah sebagai sarana untuk menaikkan status dan
memperbaiki kondisi ekonomi. Seperti yang telah dilakukan oleh Bu Summi dengan
memilih menikah dengan Pak Sutro. Meskipun itu gagal. Begitu juga dengan
keputusan Bu Summi memberhentikan anak pertamanya dari sekolah dan
menikahkannya di umur muda.
Panggil
saja perempuan kedua ini dengan Mbak Ningsih. Anak perempuan pertama Bu Summi.
Dia terpaksa mengikuti kemauan ibunya, Bu Summi. Dia dinikahkan ketika usia
pernikahan Bu Summi dan Pak Sutro berumur 5 bulan. Alasannya sederhana, demi
perbaikan hidup dan meringankan beban keluarga.
Sejak
pernikahan anak perempuan pertamanya itu, Bu Summi nyaris tidak pernah lagi
tinggal bersama dua anak perempuannya. Dia ikut ke rumah suaminya, ke desa
sebelah. Bahkan, Bu Summi memasrahkan anak bungsunya kepada Mbak Ningsih dan
suaminya.
“Aku
akan jarang di sini. Jadi, kalian jaga adikmu ini,” kata Bu Summi kepada Mbak
Ningsih dan suaminya. Tepatnya, dua hari setelah pernikahan Mbak Ningsih.
Jauh-jauh hari, Bu Summi memang sudah menyampaikan itu kepada dua anak
perempuannya.
“Kalau
kamu nanti menikah, rumah ini tidak mungkin dihuni lima orang. Ibu akan ikut
bapak tirimu,” kata Bu Summi.
Kehidupan
baru berjalan. Tapi Bu Summi tetap memeras keringat sendiri untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dan suaminya. Bahkan, Bu Summi tetap terlilit utang. Berbeda
dengan Mbak Ningsih, dia hidup normal meski tidak dapat dikata berkelebihan.
Sejak menikah, Mbak Ningsih membuka warung kelontong kecil-kecilan dengan modal
yang diberikan oleh suaminya.
Dunia
ini tidak pernah sepi dari masalah. Katanya, dunia ini memang tidak akan
menjadi surga bagi siapa pun. Mbak Ningsih pun tertimpa petaka. Suaminya
menuntutnya untuk segera memiliki anak.
Usia
pernikahan Mbak Ningsih sudah lima tahun. Namun, dia belum dikaruniai anak.
Padahal, menurut penuturan Mbak Ningsih, dia tidak pernah menunda kehamilan.
Bahkan, dia selalu menjaga pola makan dan meminum ramuan kesuburan.
Takdir
Tuhan memang tidak bisa dirayu dan kehendak-Nya tidak bisa ditebak. Suaminya
lambat laun lebih sering tidak pulang. Hingga akhirnya datang surat cerai
kepada Mbak Ningsih. Dia dicerai karena tidak dapat memberikan keturunan
setelah lima tahun menikah.
Keadaan
semakin runyam karena Bu Summi juga dicerai oleh suaminya. Pak Sutro mau
menikah lagi. Bu Summi diantar pulang ke rumahnya kembali.
Sekarang,
beban hidup keluarga itu semakin berat, perceraian dan ekonomi. Bu Summi
terjerat utang selama hidup dengan Pak Karto dan dia harus segera melunasinya
bila tidak ingin terus beranak pinak.
Pendapatan
Bu Summi tetap tak dapat mencukupi. Keadaan memaksanya menggunakan uang Mbak
Ningsih dari hasil toko kelontongnya.
Modal
usaha toko kelontong Mbak Ningsih pun semakin kecil. Barang semakin sedikit.
Banyak pembeli pulang dengan tangan hampa. Mbak Ningsih sudah tidak bisa lagi
menyediakan kebutuhan pembeli di sekitar rumahnya. Akhirnya, pembeli bosan dan
pindah langganan.
3/
Orang cenderung
irasional bila terhimpit beban hidup, apalagi bila jatuh pada pesimisme dan tak
punya pegangan keyakinan. Mudah marah. Mudah curiga dan tidak percaya. Bahkan,
mudah berkonflik dan bertindak kekerasan.
Permpuan
ketiga ini dipanggil Nana. Panggil saja Dik Nana. Dia juga anak Bu Summi. Si
bungsu. Sekarang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah atas.
Awal
tahun ajaran baru, semua peralatan dan perlengkapan sekolah Dik Nana dirampas
oleh Bu Summi dan Mbak Ningsih. Dia tidak diizinkan lagi sekolah. Dipaksa
berhenti. Alasannya, dia dituduh berselingkuh dengan suami Mbak Ningsih dan
sering bertemu saat pulang sekolah. Keputusannya, dia tidak diperbolehkan
sekolah.


0 Komentar